Dapat email kiriman seperti ini.... dan aku setuju
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan
pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan
tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya
setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku dipaksa
membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan
adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak
mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah
dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya
sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain.
Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang
diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku
selalu bersungut-sungut.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman
Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam
kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat
dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana.
Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah,
dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau
hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang
penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering
meninggalkannya, bermain bersama teman-teman,
bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia
sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat
tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu
berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang
kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku
yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja
mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar
orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu
memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak
pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia
sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang
bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga
perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja
bulanannya.
Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran,
kelembutan dan kasih saying mengajariku berjalan. Ia
mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka
di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di
perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda
dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan
seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak
berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga
kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku
dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan
segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang
kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti
apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu
meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang
berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya,
pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah
kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku
yang sekarang. Usai acara wisuda, ia langsung
menciumku saat aku bersimpuh di kakinya.
Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali
memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke
dunia ini.
Sungguh, kini setelah aku sibuk dengan pekerjaan, aku
baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya
tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku
akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat
cinta dan kasihmu kepadaku.
"Teruntuk semua Ibu dan yang akan menjadi Ibu"
......Love someone with what you do and the words you say
Love is not meant to be kept locked inside of us and hidden
So give it away "Give Love to someone today!" .....