Thursday, February 15, 2007
*Setelah beberapa lagu pujian seperti biasanya pada hari minggu, pembicara
gereja bangkit berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju mimbar untuk
berkhotbah.
"Seorang ayah dan anaknya serta teman anaknya pergi berlayar ke samudra
Pasifik", dia memulai, "ketika dengan cepat badai mendekat dan menghalangi
jalan untuk kembali ke darat. Ombak sangat tinggi, sehingga meskipun sang
ayah seorang pelaut berpengalaman, ia tidak dapat lagi mengendalikan perahu
sehingga mereka bertiga terlempar ke lautan."
Pengkotbah berhenti sejenak, dan memandang mata dua orang remaja yang
mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian. Dia melanjutkan,
"dengan menggenggam tali penyelamat, sang ayah harus membuat keputusan yang
sangat sulit dalam hidupnya ... kepada anak yang mana akan dilemparkannya
tali penyelamat itu. Dia hanya punya beberapa detik untuk membuat keputusan.
Sang ayah tahu bahwa anaknya adalah seorang pengikut Kristus, dan dia juga
tahu bahwa teman anaknya bukan. Pergumulan yang menyertai proses pengambilan
keputusan ini tidaklah dapat dibandingkan dengan gelombang ombak yang ganas.
Ketika sang ayah berteriak, "Aku mengasihi engkau, anakku!" Dia melemparkan
tali itu kepada teman anaknya. Pada waktu dia menarik teman anaknya itu ke
sisi perahu, anaknya telah menghilang hanyut ditelan gelombang dalam
kegelapan malam. Tubuhnya tidak pernah ditemukan lagi."
Ketika itu, dua orang remaja yang duduk di depan, menantikan kata-kata
berikut yang keluar dari mulut sang pembicara. "Sang ayah," si pembicara
melanjutkan, "tahu bahwa anaknya akan masuk dalam kekekalan dan diselamatkan
oleh Yesus, dan dia tidak sanggup membayangkan jika teman anaknya melangkah
dalam kekekalan tanpa Yesus. Karena itu dia mengorbankan anaknya sendiri.
Betapa besar kasih Allah, sehingga Ia melakukan hal yang sama kepada kita."
Sang pembicara kembali ke tempat duduknya sementara keheningan memenuhi
ruangan.
Beberapa saat kemudian, dua orang remaja duduk di sisi pembicara. "Cerita
yang menarik," seorang remaja memulai pembicaraan dengan sopan, "tapi saya
pikir tidaklah realistis bagi sang ayah untuk mengorbankan hidup anaknya
hanya dengan berharap bahwa teman anaknya akan menjadi seorang pengikut
Kristus."
"Benar, engkau benar sekali," jawab pembicara. Sebuah senyum lebar menghiasi
wajahnya dan kemudian di memandang kedua remaja tersebut dan berkata, "Tentu
saja itu tidak realistis bukan? Tapi saya ada di sini untuk memberitahu
kalian bahwa cerita itu membuka mataku tentang apa yang sesungguhnya terjadi
ketika Tuhan memberikan AnakNya untuk saya."
"Engkau tahu ... sayalah teman sang anak itu". *(Anonim)*
*
____________ _________ _________ _________ _________ _________ _
*
**
*Jika seseorang tidak diselamatkan, itu bukan karena ia tidak dapat, tetapi
ia tidak ingin. Satu-satunya rintangan dalam menerima pengampunan dosa
adalah rintangan yang kita buat sendiri. *
gereja bangkit berdiri dan perlahan-lahan berjalan menuju mimbar untuk
berkhotbah.
"Seorang ayah dan anaknya serta teman anaknya pergi berlayar ke samudra
Pasifik", dia memulai, "ketika dengan cepat badai mendekat dan menghalangi
jalan untuk kembali ke darat. Ombak sangat tinggi, sehingga meskipun sang
ayah seorang pelaut berpengalaman, ia tidak dapat lagi mengendalikan perahu
sehingga mereka bertiga terlempar ke lautan."
Pengkotbah berhenti sejenak, dan memandang mata dua orang remaja yang
mendengarkan cerita tersebut dengan penuh perhatian. Dia melanjutkan,
"dengan menggenggam tali penyelamat, sang ayah harus membuat keputusan yang
sangat sulit dalam hidupnya ... kepada anak yang mana akan dilemparkannya
tali penyelamat itu. Dia hanya punya beberapa detik untuk membuat keputusan.
Sang ayah tahu bahwa anaknya adalah seorang pengikut Kristus, dan dia juga
tahu bahwa teman anaknya bukan. Pergumulan yang menyertai proses pengambilan
keputusan ini tidaklah dapat dibandingkan dengan gelombang ombak yang ganas.
Ketika sang ayah berteriak, "Aku mengasihi engkau, anakku!" Dia melemparkan
tali itu kepada teman anaknya. Pada waktu dia menarik teman anaknya itu ke
sisi perahu, anaknya telah menghilang hanyut ditelan gelombang dalam
kegelapan malam. Tubuhnya tidak pernah ditemukan lagi."
Ketika itu, dua orang remaja yang duduk di depan, menantikan kata-kata
berikut yang keluar dari mulut sang pembicara. "Sang ayah," si pembicara
melanjutkan, "tahu bahwa anaknya akan masuk dalam kekekalan dan diselamatkan
oleh Yesus, dan dia tidak sanggup membayangkan jika teman anaknya melangkah
dalam kekekalan tanpa Yesus. Karena itu dia mengorbankan anaknya sendiri.
Betapa besar kasih Allah, sehingga Ia melakukan hal yang sama kepada kita."
Sang pembicara kembali ke tempat duduknya sementara keheningan memenuhi
ruangan.
Beberapa saat kemudian, dua orang remaja duduk di sisi pembicara. "Cerita
yang menarik," seorang remaja memulai pembicaraan dengan sopan, "tapi saya
pikir tidaklah realistis bagi sang ayah untuk mengorbankan hidup anaknya
hanya dengan berharap bahwa teman anaknya akan menjadi seorang pengikut
Kristus."
"Benar, engkau benar sekali," jawab pembicara. Sebuah senyum lebar menghiasi
wajahnya dan kemudian di memandang kedua remaja tersebut dan berkata, "Tentu
saja itu tidak realistis bukan? Tapi saya ada di sini untuk memberitahu
kalian bahwa cerita itu membuka mataku tentang apa yang sesungguhnya terjadi
ketika Tuhan memberikan AnakNya untuk saya."
"Engkau tahu ... sayalah teman sang anak itu". *(Anonim)*
*
____________ _________ _________ _________ _________ _________ _
*
**
*Jika seseorang tidak diselamatkan, itu bukan karena ia tidak dapat, tetapi
ia tidak ingin. Satu-satunya rintangan dalam menerima pengampunan dosa
adalah rintangan yang kita buat sendiri. *